Ah, Kalo Indonesia Kaya Gini Terus, Jadi Warga Negara Jepang Aja Gitu, Ya?

Kondisi Indonesia yang serba memprihatinkan, membingungkan, dan mengecewakan tentunya membuat kita bertanya-tanya, “Gimana negara ini maju coba? Pejabat banyak yang korupsi, pembangunan gak merata, masyarakat susah diatur dan banyak ngelanggar aturan, belum lagi sarana dan fasilitas di sini masih ketinggalan jauh sama negara-negara lain”. Terkadang pikiran kaya gitu bikin kita jadi pengen “ah, belajar di luar negeri, kerja di sana terus jadi warga negara sana aja lah”.

Jepang, sebagai salah satu negara maju di Asia, dianggap negara yang sangat diminati oleh orang Indonesia. Gak sedikit orang Indonesia yang belajar bahasanya, belajar dan bekerja di sana. Banyak banget orang Indonesia menjadikan Jepang sebagai contoh negara maju dan modern tapi masih ngejaga tradisi dan budayanya. Selain itu, bangsa Jepang juga dikenal sebagai bangsa yang disiplin, teratur, dan pekerja keras. Itu beberapa faktor yang membuat Jepang menjadi negara maju dan modern yang disegani.

Gak sedikit orang Indonesia yang tergiur dengan kemajuan dan modernitas Jepang hingga berpikir, “ah, nanti beres lulus sekolah atau kuliah, kerja di sana, nikah sama orang sana, dan ganti warga negara jadi warga negara Jepang kalau negara ini masih kaya gini aja”. Ya, boleh-boleh aja mikir gitu. Tapi sebelum kita memutuskan untuk ganti kewarganegaraan jadi warga negara Jepang, coba kita perhatikan hal-hal ini.

1. Dampak shoshika-koreika, peluangkah?
http://matome.naver.jp/odai/2143434166612971301
Ngomong-ngomong soal peluang, kalau melihat fenomena shoshika (penurunan natalitas) dan koreika (penambahan jumlah manula), nampaknya Jepang semakin membutuhkan penduduk. Kalau generasi muda berkurang, terus siapa yang bakal ngebangun Jepang. Diprediksikan kalau fenomena ini terus berlanjut, mungkin 100 tahun lagi Jepang cuma tinggal nama. Apakah ini peluang buat kita yang pengen belajar, bekerja di sana dan jadi warga negara Jepang? Bisa jadi ini peluang. Tapi sejauh ini tidak ada kebijakan dari pemerintah Jepang untuk mengajak warga asing untuk datang ke Jepang hingga menjadi warga negara Jepang. Yang ada kebijakan pemerintah Jepang isinya meminta bantuan negara-negara Asia lainya untuk ngirim tenaga kerja. Jadi meskipun kekurangan generasi, pembangunan infrastruktur dan pembangunan lainnya di Jepang masih teratasi.

2. Sanggupkah kita berada di lingkungan yang serba sibuk?

http://girl.sugoren.com/report/1439538594629/

Dimulai tahun 1951 hingga 1985 Jepang mengalami apa yang disebut dengan kodo keizai seicho (high growth economy). Pada periode itu, pertumbuhan ekonomi Jepang sangat tinggi sampe-sampe ngalahin pertumbuhan ekonomi di negara-negara Eropa. Kenapa itu bisa terjadi? Karena etos kerja bangsa Jepang yang tinggi, komitmen dan loyalitas mereka terhadap perusahaan sangat tinggi juga sampai-sampai mereka rela menghabiskan waktu untuk lembur dengan harapan bisa dapet promosi jabatan. Artinya, mereka punya ambisi untuk maju. Sekarang ekonomi Jepang memang sedang lesu dan tampaknya pertumbuhan ekonomi Jepang sulit setinggi pada zaman itu. Tapi, etos kerja, kerja keras, keseriusan mereka dalam bekerja nampaknya sulit ditandingi.



Sedikit pengalaman pribadi selama sekolah di Jepang, belajar di sekolah hanya seminggu lima hari, satu hari hanya belajar tiga jam setengah. Di luar itu, arubaito (kerja paruh waktu), arubaito, dan arubaito. Bagi yang belajar di sana dengan uang pribadi tanpa beasiswa, ditambah berasal dari kalangan ekonomi menengah, arubaito adalah suatu kewajiban. Bahkan tampaknya satu arubaito gak cukup kalau kita pengen nabung. Terus, sabtu dan minggu pun dijadikan hari yang pas untuk meraup keuntungan besar dari arubaito. Tujuan utama kita belajar, tapi uang untuk biaya hidup dan tabungan juga perlu. Akhirnya, gak sedikit orang Indonesia yang gagal fokus, yang harusnya bekerja keras buat belajar malah lebih memikirkan uang tambahan sampai-sampai mencari arubaito lain. Saking padatnya kegiatan harian oleh belajar dan arubaito di hari libur, gak ada yang namanya istirahat atau hibernasi di akhir pekan. Itu baru sekolah, kuliah lebih sibuk lagi oleh tugas makalah, presentasi, laporan, dll. Kalau dunia kerja? Pasti lebih sibuk lagi.



3. Aturan serba ketat dan serba teratur
http://xxx00.liuxue998.com/10121%20sparta%20.html
Di Indonesia, aturan memang ada tapi kebanyakan dilanggar. Contohnya, pas kita mau buat SIM, harusnya selain lulus tes tulis, juga lulus tes praktek. Nyatanya, masih banyak yang dapat SIM lewat jalur belakang. Di Jepang buat dapet SIM motor, itu harus ikut kursus dulu dan biayanya mahal banget kalau dirupiahkan. Apalagi SIM mobil. Dan setiap orang yang mau dapet SIM harus ikut sekolah, taat aturan, dan lulus ujian. Gak ada acara sogok-sogokan.



Selain contoh di atas, ada lagi kalau kita arubaito dan tempat kita arubaito menggunakan sistem time card. Dengan time card manajer atau bagian keuangan tau persis berapa gaji per jam yang harus diberikan kepada part timer. Cuma, gimana kalau part timer datang telat 1 menit? Kebanyakan mereka memangkas gaji per jamnya. Misalnya, yang harusnya per jam dapat 800 Yen, gara-gara telat 1 menit dipotong 400 Yen. 400 Yen itu lumayan buat sekali makan.



Alur kerja pun juga sama. Kalau kebanyakan dari kita berpikir mau a dulu terus ke c langsung ke d terus ke b, gak kan masalah selama hasil akhir gak jauh beda. Di Jepang mekanisme atau alur kerja harus bener-bener diikuti. Bisa aja sih gak ngikut alur, paling nanti dimarahi atasan. Nah, bagi kita yang susah terbiasa kerja tanpa alur, bakalan sering kena marah pas kerja.


4. Musim yang beda
http://www.gekiyaku.com/archives/47558332.html
Pasti kita pernah mikir, “wah asik banget kalau kita bisa tinggal di Jepang. Bisa lihat sakura pas musim semi, bisa liat festival kembang api pas musim panas, lihat momiji pas musim gugur, pastinya bisa ngerasain salju pas musim dingin. “Bakal seru banget!”. Bagi orang Jepang, suhu musim semi dirasa hangat dan musim gugur dirasa sejuk. Tapi kita perlu tau kalau sehangat-hangatnya musim semi suhu paling tinggi kurang lebih 21-23 derajat, dan sesejuk-sejuknya musim gugur suhu paling tinggi kurang lebih 17-19 derajat. Gimana dengan musim panas dan musim dingin? Suhu musim panas di Jepang lebih panas daripada suhu di Jakarta, belum lagi kelembapan di sana yang tinggi. Musim dingin, pastinya seru bisa lihat salju. Tapi kalau suhunya gak mencapai 0 atau minus gak kan turun salju. Dan paling gak enak kalau hujan turun pas musim dingin. Udah dingin, basah juga baju kalau kehujanan. Jadi kalau secara fisik kita gak kuat, harus lebih serius lagi ngelatih badan. Kalau selama di Jepang sering sakit, bakal sering absen sekolah, kuliah, atau kerja. Akhirnya banyak dapet kerugian buat kita.



5. Budaya dan karakter bangsa yang beda
https://cdn.locari.jp/web/images/p/post_element/picture/29470/w621_picture.jpg
Ini paling esensial. Jangankan beda negara, beda kota atau beda provinsi aja, pola pikir, atau tradisi masyarakatnya beda. Apalagi Indonesia dan Jepang. Meski sama-sama negara yang berada di kawasan Asia, secara tipe bahasa mirip dengan bahasa Sunda dan Jawa yang sama-sama punya unggah-ungguh, secara karakter orangnya ramah dan sopan. Tapi, kita perlu tahu dan paham kalau gak sedikit pola pikir, tradisi, dan budaya masyarakat Jepang yang berbeda dengan kita.

Orang Indonesia masih memegang nilai agama dalam hidupnya. Tapi orang Jepang gak gitu. Kebanyakan orang Jepang berpikir liberal, dan agnostik. Bagi kita yang masih memegang teguh nilai-nilai agama, perlu usaha untuk memahamkan mereka (orang Jepang) bahwa kita karakter masyarakatnya kaya gini, dan perlu keteguhan hati dan kerja keras untuk menunaikan kewajiban sebagai umat beragama.  


Soal karakter bangsa Jepang, di Jepang kekuatan senior atau yang disebut yuetsukan masih cukup kuat. Gak heran kalau junior segan atau hormat ke seniorya. Di Indonesia cukup banyak yang gak suka dengan istilah dan praktek senioritas. Nah, kalau kita diterima kerja di perusahaan Jepang di Jepang yang senioritasnya kuat, siap gak?

6. Orang Jepang tidak setoleran orang Indonesia
http://www.b92.net/news/pics/2016/03/23/89982809856f2faaa7382a439039779_orig.jpg
Indonesia dikenal dengan keberagamannya termasuk keberagaman suku bangsanya. Meski masih terjadi konflik antarsuku, tapi cukup banyak  di berbagai wilayah Indonesia, masyarakat yang berbeda suku bangsa bisa hidup berdampingan. Keberagaman yang ada di Indonesia ngebuat bangsanya menjadi bangsa yang bisa saling memahami satu sama lain, dan toleran ke orang lain.

Berbanding terbalik dengan Indonesia, Jepang gak punya banyak keragaman dalam suku bangsa. Ada teori yang mengatakan kenapa Jepang mudah bersatu dan maju karena suku bangsa mereka sangat sedikit sehingga mudah disatukan dan visi negara mudah diwujudkan. Tapi, di sisi lain sedikit keberagaman bikin mereka sulit memberikan toleransi. Karena kesamaan suku, apa yang dianggap keharusan dan larangan pasti dianggap sama oleh masyarakat Jepang lainya menyebabkan kalau masyarakat Jepang lainnya beda bakal dapet pandangan atau penilaian yang beda.


Selain itu, di Jepang ada konsep uchi dan soto. Uchi (kelompok dalam) adalah kelompok yang meliputi diri sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, atasan dan bawahan perusahaan tempat dia bekerja. Di luar itu disebut soto. Perlakuan terhadap kelompok soto akan berbeda terhadap kelompok uchi. Biasanya perlakuan terhadap kelompok uchi akan lebih baik dibandingkan terhadap kelompok soto. Posisi kita bisa berada di posisi kelompok soto, ditambah tidak jarang masyarakat Jepang menyebut orang asing termasuk orang Indonesia dengan sebutan gaijin (orang di luar kelompok). Ini lebih gak enak lagi bukan? Kecuali kalau kita sudah berada di posisi kelompok mereka dan keberadaan kita dinilai baik, dan kita dipercaya mereka itu sudah cukup untuk kita. Hanya saja untuk menjadikan diri kita dipercaya mereka perlu perjuangan keras.

7. Orang Jepang pun menganggap bahwa Jepang bukan negara yang paling
http://www.langland.co.jp/english/column/images/english-column16/english-column16-icatch.jpg
Cukup banyak orang Indonesia memandang bahwa Jepang negara modern yang paling segalanya. Etos kerja, kedisiplinan, dan semangat orang Jepang udah gak perlu diragukan lagi. Infrastruktur, transportasi modern, sistem layanan masyarakat udah sangat praktis. Kebersihan, kerapihan dan pelayan di Jepang sangat diutamakan karena mereka punya prinsip “okyaku san wa kami sama da” yang artinya ‘tamu adalah dewa’. Pemerintahan pun tampak bersih karena setiap pejabat yang melakukan kesalahan tanpa diminta dan tanpa paksaan akan mengundurkan diri. Cuma, apakah semua orang Jepang mikir sama kaya kita? Dari beberapa orang Jepang yang telah diwawancarai, ternyata mereka menganggap bahwa di Jepang pun punya banyak masalah. Gak sedikit mereka kecewa dengan pemerintahannya yang kadang mengeluarkan kebijakan yang tidak sesuai harapan. Ditambah lagi, generasi Jepang saat ini dianggap tidak sebaik generasi Jepang saat pertumbuhan ekonomi Jepang tinggi di masa lalu. Masalah sosial seperti hikikomori (mengurung diri di kamar), ijime (bullying), futoko (enggan sekolah), NEET (Not in Education, Employment or Training), muen shakai (disconnected society) adalah masalah besar dan sulit diatasi.

Kira-kira itu hal-hal yang perlu kita pertimbangkan sebelum kita melangkah lebih jauh buat ganti warga negara. Jadi, masih mau ganti kewarganegaraan jadi warga negara Jepang?


No comments:

Powered by Blogger.